Tuesday 27 June 2017

Makalah Problematika Nilai Moral Dan Hukum Forex


MANUSIA, NILAI, MORAL, DAN HUKUM BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia, nilai, moral, dan hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Dewasa ini masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonésia berkaitan dengan nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbugatan negatif lainnya sehingga perlu dikedepankan pendidikan agama dan moral karena dengan adanya panutan nilai bimbingan dalam moral Diri manusia akan sangat menentukan kepribadian indivíduo atau jati diri manusia, lingkungan sosial dan kehidupan setiap insan. Pendidikan nilai yang mengarah kepada pembentukan moral yang sesuai dengan norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manuscrito yang utuh dalam konteks sosial. Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Secara umum ada tiga lingkungan yang sangat kondusif untuk melaksanakan pendidikan moral yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Peran keluarga dalam pendidikan mendukung terjadinya proses identifikasi, internalisasi, panutan dan reproducksi langsung dari nilai-nilai moral yang hendak ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga. Hal-hal yang juga perlu diperhatikan dalam pendidikan moral de lingkungan keluarga adalah penanaman nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawab dalam segenap aspek. 1.2 Rumusan Masalah Makalah ini membahas sekelumit mengenai manusia, nilai, moral, dan hukum yang mencakup hal-hal berikut 1.2.1 Manusia, Nilai, Norma da Moral 1.2.2 Manusia dan Hukum 1.2.3 Hubungan Hukum dan Moral 1.2.4 Problematika Hukum BAB II PEMBAHASAN 2.1 Manusia, Nilai, Norma da Moral Meskipun banyak pakar yang mengemukakan penguin nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua penguanita itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan olei setiap pakar pada dasarnya adalah upaya dalam memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang 8220relatif belum tersentuh8221 ole pemikir lain. Definitivamente, Yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan por John Dewney yakni, o valor é objeto de interesse social, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya. Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manuscrito baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manuscrito karena dianggap berada dalam diri manuscrito atau nilai itu menarik manuscrito karena ada di luar manuscrito yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Menilai dapat diartikan menimbang yakni suatu kegiatan manuscrito untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik, indah) atau sebaliknya bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada diri manuscrito yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan. Nilai memiliki polaritas dan hirarki, antara lain: a. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas seperti baik dan buruk keindahan dan kejelekan. B. Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan pentingnya. Nilai (valor) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (vale) atau kebaikan (bens). Notonagoro membagi hierarki nilai pokok yaitu: a. Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia. B. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manuscrito untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas. C. Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam: a. Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio manusia b. Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis manusia c. Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau karsa manusia d. Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manuscrito dengan disertai penghayatan melalui akal budi dan nuraninya Hal-hal yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (material benda) saja, bahkan sesuatu yang imaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manuscrito seperti nilai religius. Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu pertimbangan interna (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak konkret dan pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif ini perlu lebih dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang lebih konkret dan objektif dari nilai adalah normakaedah. Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Ada beberapa macam normakaedah dalam masyarakat, yaitu: a. Norma kepercayaan atau keagamaan b. Norma kesusilaan c. Norma sopan santunadab d. Norma hukum Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal). Nilai dan norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonésia diartikan moral dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa dikatakan manuscrito yang bermoral adalah manuscrito yang sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. 2.2 Manusia dan Hukum Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang escondido (a lei viva) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: 8220Ubi societas ibi jus8221 (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai 8220semen perekat8221 atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai 8220semen perekat8221 tersebut adalah hukum. Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manuscrito membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (ordem social) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan). 2.2.1 Tujuan Hukum Banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli. 1. Prof. Subekti, SH: Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula. 2. Prof. Dr. Dr. LJ. Van Apeldoorn: Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian antara sesama. Dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan seimbang. 3. Geny. Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan. 4. Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (a lei é uma ferramenta de engenharia social). 5. Muchatr Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok dan utama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Tujuan hukum menurut hukum positif Indonésia termuat dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi 8220..untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonésia yang melindungi segenap bangsa Indonésia dan seluruh tumpah darah Indonésia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian Abadi dan keadilan sosial8221. Pada umumnya hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku. 2.2.2 Penegakan Hukum Indonésia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan, para bapak bangsa ini sudah menginginkan bahwa negara Indonésia harus dikelola berdasarkan hukum. Ketika memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara ini harus sedapat mungkin berada dalam koridor hukum. Semua harus diselenggarakan secara teratur (em ordem) dan setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi yang sepadan. Penegakkan hukum, dengan demikian, adalah suatu kemestian dalam suatu negara hukum. Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan kesejahteraan suatu negara. Karena, negara-negara maju di dunia biasanya ditandai, tidak sekedar perekonomiannya maju, namun juga penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) 8211nya berjalan baik. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Friedmann berpendapat bahwa efektifitas hukum ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: a. Substansi hukum Yaitu materi atau muatan hukum. Dalam hal ini peraturan haruslah peraturan yang benar-benar dibutuhkan oley masyarakat untuk mewujudkan ketertiban bersama. B. Aparat Penegak Hukum Agar hukum dapat ditegakkan, diperlukan pengawalan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki komitmen dan integritas tinggi terhadap terwujudnya tujuan hukum. C. Budaya Hukum Budaya hukum yang dimaksud adalah budaya masyarakat yang tidak berpegang pada pemikiran bahwa hukum ada untuk dilanggar, sebaliknya hukum ada untuk dipatuhi demi terwujudnya kehidupan bersama yang tertib dan saling menghargai sehingga harmonisasi kehidupan bersama dapat terwujud. Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai 8216jalan di tempat8217 ataupun malah 8216tidak berjalan sama sekali.8217 Pendapat ini mengemuka utamanya dalam fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum cenderung 8216tebang pilih8217, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan 8216penjahat-penjahat kecil8217 daripada Buronan kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri. Pendapat tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum dilihat dari sisi korupsi saja. Namun sesungguhnya penegakan hukum bersifat luas. Istilah hukum sendiri sudah luas. Hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan namun juga bisa bersifat keputusan kepala adat. Hukum-pun bisa diartikan sebagai pedoman bersikap tindak ataupun sebagai petugas. Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum (conteúdo da lei), tata laksana hukum (estrutura do direito) dan budaya hukum (cultura do direito). Sehingga, penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum. Contoh paling aktual adalah tentang Perda Kawasan Bebas Rokok misalnya. Peraturan ini secara normatif sangat baik karena perhatian yang begitu besar terhadap kesehatan masyarakat. Namun, apakah telah berjalan efektif Ternyata belum. Karena, fasilitas yang minim, juga aparat penegaknya yang terkadang tidak memberikan contoh yang baik. Sama halnya dengan masyarakat perokok, kebiasaan untuk merokok di tempat-tempat publik adalah suatu budaya yang agak sulit diberantas. Oleh karenanya, penegakan hukum menuntut konsistensi dan keberanian dari aparat. Juga, hadirnya fasilitas penegakan hukum yang o melhor adalah suatu kemestian. Misalnya, perda kawasan bebas rokok harus didukung dengan memperbanyak tanda-tanda larangan merokok, atau menyediakan ruangan khusus perokok, ataupun memasang alarme di ruangan yang sensitive dengan asap. Masyarakatpun harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu. Maka, programa penyadaran, kampanye, pendidikan, apapun namanya, harus terus menerus digalakkan dengan metode yang partisipatif. Karena, adalah hak dari warganegara untuk mendapatkan informably dan pengetahuan yang tepat dan benar akan hal-hal yang penting dan berguna bagi kelangsungan hidupnya. 2.2.3 Hubungan Hukum e Moral Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang mengatakan 8220quid leges sine moribus8221 (apa artinya undang-undang jika tidak disertai moralitas). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat. Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya 8216mungkin8217 ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang imoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum. Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum tampak kosong dan hampa (Dahlan Thaib, h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum dan moral sangat jelas. Perbedaan antara hukum dan moral menurut K. Berten: 1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak 8216diganggu8217 oleh diskusi yang yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap utis dan tidak etis. 2. Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. 3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas hanya hati yang tidak tenang. 4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus di akui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. moralitas berdasarkan atas norma-norma moral yang melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya. Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral: 1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam sedangkan moral berdasarkan hukum alam. 2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia), sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri). 3. Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan, 4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. Moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri. 5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia. 6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990, 119). 2.2.4 Problematika Hukum Problema paling mendasar dari hokum di Indonésia adalah manipulasi atas fungsi hokum oleh pengemban kekuasaan. Problema akut dan mendapat sorotan lain adalah: a. Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam jumlah yang banyak sangat dibutuhkan. B. Peneggakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sering mengalami intervensi kekuasaan dan uang. Uang menjadi permasalahan karena negara belum mampu mensejahterakan aparatur penegak hukum. C. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum semakin surut. Hal ini berakibat pada tindakan anarkis masyarakat untuk menentukan sendiri siapa yang dianggap adil. D. Para pembentuk peraturan perundang-undangan sering tidak memerhatikan keterbatasan aparatur. Peraturan perundang-undangan yang dibuat sebenarnya sulit untuk dijalankan. E. Kurang diperhatikannya kebutuhan waktu untuk mengubah paradigma e pemahaman aparatur. Bila aparatur penegak hukum tidak paham betul isi peraturan perundang-undangan tidak mungkin ada efektivitas peraturan di tingkat masyarakat. Problema berikutnya adalah hukum di Indonésia hidup di dalam masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representaasi dan simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita Mulyasari. Pekerjaan besar menghadang bangsa Indonésia di bidang hukum. Berbagai upaya perlu dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonésia sebagai pemegang kedaulatan dapat merasakan apa yang dijanjikan dalam hukum. PENUTUP BAB III 3.1 Manusia Kesimpulan, nilai, moral, dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan saling menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati dan melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan dan harmoni kehidupan. 3.2 Saran Penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan dan kepastian hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan (justiça), kepastian hukum (certeza da lei), dan kesebandingan hukum (igualdade perante a lei). Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik dengan penegakan hak asasi manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan hukum yang bersifat diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif jender. Penegakan hukum jangan dipertentangkan dengan penegakan HAM. Karena, sesungguhnya keduanya dapat berjalan seiring ketika para penegak hukum memahami betul hak-hak warga negara dalam konteks hubungan antara negara hukum dengan masyarakat sipil.1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan pondasi pembangunan suatu bangsa, jika pendidikan tidak berjalan dengan semestinya maka pembangunan tidak akan terlaksana, Atau bahkan dapat mengakibatkan krisis multidimensi yang berkepanjangan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan media pembangunan yang memiliki posisi strategis dalam mengintegrasikan dan mengatur sub-sub sitem dalam masyarakat. Pendidikan juga merupakan sarana transformasi ilmu pengetahuan, yang meliputi sosialisasi ilmu pengetahuan, pengembangan ilmu pengetahuan, sosialisasi norma dan nilai dalam masyarakat, baik budaya, agama, maupun idiologi. Indonésia merupakan negara yang sedang melakukan pembangunan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, namun dalam perjalanannya timbul berbagai penyimpangan dan masalah-masalah didalam proses perealisasiannya. Masalah pendidikan di indonesia bukan saja karena kualitas intelektualitas yang masih rendah, tetapi juga diperparah dengan degradasi moral generasi muda yang masih belum bisa menyaring perkembangan globalisasi. Tawuran antar pelajar, sexo grátis. Narkoba, dan tindakan asusila maupun pelanggaran hukum banyak mewarnai pendidikan Indonésia, bahkan hal ini dapat kita saksikan baik secara langsung maupun dimedia massa. Banyak masyarakat mempertanyakan kinerja pendidikan dengan pandangan sekeptis, namun kita juga tidak bisa menyalahkan lembaga pendidikan karena sebagai masyarakat kita juga memiliki andil yang besar dalam proses pendidikan. Berbicara mengenai masalah-masalah pendidikan tentunya tiada habisnya, namun kita sebagai generasi muda harus memiliki sikap kritis dalam membaca realitas yang sedang terjadi dalam masyarakat, dan mungupayakan pencarian solusi terhadap permasalahan tersebut. Upaya perbaikan tersebut sangat diperlukan dalam rangka membangun intelektual yang mandiri dalam pembangunan dan bersaing dalam masyarakat global. Bukan saja dalam membangun kecerdasan intelektual tetapi juga membangun kecerdasan emosional dan spiritual generasi muda. 1.2 Rumusan Masalah Masalah apa saja yang dapat timbul dalam proses pendidikan Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan munculnya masalah pendidikan Bagaimanakah cara mengatasi masalah-masalah dalam pendidikan 1.3 Tujuan Dibuatnya Makalah Adaptar tujuan penulis membuatan makalah ini adalah: Menjelaskan permasalahan pendidikan di Indonesia dan upaya - Upaya untuk menanggulanginya 2.1 Gambaran Umum Permasalahan Pendidikan Indonésia Pendidikan merupakan suatu diskursus yang terpenting de menempati posisis sentral dalam bidang kajian sosiologi. Dalas sosiologi pendidikan inilah kemudian dibahas berbagai masalah tentang pendidikan dengan tujuan mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik (Nasution, 1983). Pendidikan bukan hanya terpusat pada instansi pendidikan saja melainkan juga pada tri pusat pendidikan yaitu pendidikan dalam keluarga, pendidikan dilembaga pendidikan formal (sekolah dan kampusuniversitas) serta pendidikan dimasayarakat. Namun dalam makalah ini kami lebih mengutamakan pengkajian lembaga pendidikan formal. Kenakalan remaja (delinquência jevenil) bukanlah murni disebabkan ole kaealahan pelajar atau siswa, melainkan kenakalan remaja muncul dari permasalah multidimensional dalam diri pendidikan itu sendiri. Asumsi dasarnya adalah individu merupakan representasi dari masyarakat, sebagaimana konsep fakta sosial Durkheim. Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individuo sebagaimana sebuah paksaan eksternal atau bisa dikatakan fakta sosial adalah keseluruhan cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individu8221 (Durkheim 18951982: 13) Dari pernyataan Durkheim itu dapat kita tarik kesimpulan bahwa, tejadinya Penyimpangan kepribadian pelajar dari norma-norma masyarakat tersebut bersumber dari pengaruh eksternal yang terjadi diluar individu (pranata, institusi, sosial dan lain sebagainya). Sehingga dapat dikatakan penyimpangan dalam diri pelajar ataupun generasi merupakan hanyalah akibat dan bukanlah pokok penyebab atau persoalan. Sehingga dalam menganalisis pendididkan diperlukan kesatuan global dari sistem-sistem dalam masyarakat. 2.2. Penyebab Munculnya Masalah Pendidikan Terdapat pelbagai penyebab munculnya masalah pendidikan yang mendasar didalam pendidikan indonésia antara lain: 2.2.1 Minimnya Sarana dan Prasarana Penunjang Pendidikan Sampai saat ini 88,8 persen sekolah di indonesia mulai SD hingga SMASMK, belum melewati mutu standar pelayanan mínimo. Pada pendidikan dasar hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku pelajaran dan pengayaan, serta buku referensi masih minim. Pada jenjang Sekolah Dasar (SD) baru 3,29 dias 146.904 yang masuk kategori sekolah standar nasional, 51,71 katekori standar mínimo de 44,84 dibawah standar pendidikan mínimo. Pada jenjang SMP 28,41 dias 34,185, 44,45 berstandar mínimo de 26 tidak memenuhi standar pelayanan mínimo. Hal tersebut membuktikan bahwa pendidikan di indonesia tidak terpenuhi sarana prasarananya. Dari data diatas menggabarkan bagaimana lembaga pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan diri. Akibat tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar mengalokasikan kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif, misalnya tawuran antar pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya meresahkan masyarakat. Setidaknya ada dua dampak dari kurangnya sarana dan prasarana pendidikan Dampak kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yaitu: a. Rendahnya Mutu Saída Pendidikan Kurangnya sarana pendidikan ini berdampak pada rendahnya saída pendidikan itu sendiri, sebab di era globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang membutuhkan sarana dan prasaranan yang sangat kompleks agar dapat bersaing dengan pasar global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya belajar secara teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar dalam angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya .. Ironisnya pemerintah kurang mendukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas pendidikan. Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang pendidikan lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis teknologi ini. Kerusakan sekolah merupakan masalah klasik yang cenderung dibiarkan berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi permainan politik disaat pemilu saja. B. Kenakalan Remaja dan Perilaku yang Menyimpang Secara psikologis pelajar adalah masa transisi di remave menuju kedewasaan diamana didalamnya terjadi gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang sagat tinggi. Jika luapan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, Bukan hanya laboratorium, perpustakaan, ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga sarana-sarana olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri mereka. 2.2.2 Kontradiksi-Kontradiksi dan Kakunya Kurikulum Pendidikan Dalam rangka mengatur dan mengendalikan pendidikan yang sangat kompleks dibutuhkan suatu batasan dan aturan dalam mengawasi mutu pendidikan suatu negara. Indonésia sebagai negara yang sedang berkembang membutuhkan dados yang tepat mengenai tingkat mutu pendidikan sebagai alat untuk merancang arah pembangunan bangsa. Sehingga pemerintah berusaha meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan standar-standar pendidikan agar dapat mempermudah negara dalam melakukan pembangunan. Kurikulum pendidikan merupakan salah satu realisasi penjamin berjalannya mutu pendidikan. Kurikulum merupakan programa dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses akumulasi pengetahuan antar generasi dalam masyarakat. Maksud baik pemerintah ini ternyata kurang sesuai dengan kultur dan perkembangan zaman, dikarenakan kurikulum yang sekarang dijalankan masih berbasis pada langkah teoretis dan cenderung mengesampingkan nilai praksis pendidikan. Kurikulum yang sekarang digunakan dalam proses belajar tidak jauh berbeda dengan zaman penjajahan belanda, dimana proses pendidikannya hanyalah dalam langkah teoretis dan cenderung mencetak tenaga kerja. Standar pendidikan berupa Ujian Nasional (ONU) dengan maksud menyamaratakan nilai kemajuan dari sabang sampai merauke ini justru menimbulkan ketidak adilan baru, di daerah timur Indonésia yang sangat jauh dari standar mínimo itu dipaksa mengikuti standar jakarta ataupun jawa yang notabene lebih memiliki sarana pendidikan. Belum lagi kecurangan-kecurangan pendidikan dalam ujian nasional. Penentuan kelulusan yang hanya ditentukan waktu kurang dari satu minggu mendapat banyak kecaman dari masyarakat, dengan alasan pemaksaan nilai tersebut bukanlah ukuran kemajuan pendidikan justru menimbulkan tekanan batin dan kecurangan-kecurangan dalam pendidikan. Kurikulum pendidikan indonesia kurang mengajarkan sikap kritis dan kreatif dan cenderung bersifat mendoktrin pelajar. Selain itu kurikulumnya lebih bersifat mencetak pekerja daripada menumbuhkan pembuat pekerjaan (interprener). Hal itu dibuktikan dengan superioritas guru terhadap pelajar, sehingga proses belajar bukannya transformasi melainkan doktrinasi. Dampak yang paling nyata dari rancun dan kakunya kurikulum pendidikan ini adalah pengangguran terdidik yang semakin meningkat. Dados de Menurut. Hal ini mengindikasikan bukanlah transformasi ilmu melainkan doktrianasi ilmu 2.2.3 Pendeskreditan Moralitas Pendidikan moralitas merupakan suatu hal yang sangat penting dalam mendukung pembanguanan suatu bangsa sebagai alat untuk mengimbangi globalitas dan degradasi norma dalam masyarakat. Bahkan Durkheim mengkaji moralitas sebagai kajian pokoknya. Moralitas tentunya tidak akan hilang dari masyarakat melainkan moralitas hanya berubah dari suatu bentuk kebentuk lainnya, namun jika bentuk tersebut kacau maka akan cenderung menghambat perkembangan masyarakat. Dalam perjalanannya banyak kasus moralitas dalam pendidikan indonésia, misalnya kasus kekerasan ini tidak hanya dilakukan sesama murid ironisnya guru juga melakukan kekerasan secara fisik kepada murid sebaimana diberitakan dimedia massa. Tentunya kekerasan ini mengganggu perkembangan secara psikologis pelajar dan mendorong legalisasi kriminalitas dan kekerasan kepada siswa 2.2.4 Liberalisasi Pendidikan Jika kita melihat sejarah kebelakang, sebenarnya liberalismo merupakan tahap perkembangan lanjut dari penjajahan negara-negara maju kepada negara dunia. Dalam sejarah domonasi eksploitasi ini dibagi dalam tiga fase. Fase pertama disebut dengan masa kolonialisme yang ditandai dengan ekspansi secara fisik kapitalisme de eropa untuk memastikan perolehan bahan baku. Fase kedua disebut masa neokolonialisme dimana penjajah tidak lagi mencengkram secara fisik melainkan secara substancial melalui teori dan proses perubahan sosial, yaitu dengan mendekte atau mengintervensi kebijakan ekonomi, sosial dan politik yang cenderung merugikan negara bekas koloni. Fase yang ketiga adalah masa liberalisasi yaitu dengan memberlakukan perdagangan bebas dalam lingkup global tanpa melihat kondisi negara berkembang yang masih buta teknologi, sehingga liberalisasi cenderung menguntungkan negara-negara maju. Perkawinan antara globalisasi dan liberalisasi ini menimbulkan monopoli-monopoli perusahan besar. Ironisnya bukan hanya ekonomi saja yang mengalami liberalisasi, kesehatan bahkan pendidikan tidak luput dari liberalisasi yang menjurus pada komersialisasi pendidikan. Dengan landasan mengikuti 8220Konsesus Washington8221 pemerintah membiarkan dan melepas tanggung jawab sebagai penjamin hak memperoleh pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Bentuk pelepasan tanggung jawab ini dapat dilihat dalam peraturan presiden 1ndonesia no 77 tahun 2007, tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal atau biasa disebut BHP pendidikan (Badan Hukum Pendidikan). Dalam peraturan disebutkan bahwa pendidikan dasar, menengah, pensisikan tinggi dan pendidikan nornformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal maksimal 49 persen. Ini indikasi jelas bahwa telah terjadi komersialisasi pendidikan sebagai komunitas dagang atas nama liberalisasi. Liberalisasi pendidikan tanpa melihat kondisi objektif masyarakat indonesia yang sebagaian besar masih miskin ini, justru menjerumuskan rakyat kepada kebodohan. Pendidikan tak ubahnya menjadi sarana mobilisasi dalam merebutkan kekayaan dan mempertahankan status quo bagi orang-orang yang kaya. Akibat liberalisasi pendidikan ini tentunya rakyat miskin tidak mampu membiyayai pendidikan, sehingga dapat dikatan liberalisasi dan sahamisasi. 2.3. Reformasi Pendidikan Reformasi pendidikan merupakan upaya dalam memperbaiki dan mengembalikan fungsi pendidikan sebagai mestinya. Jika pendidikan tidak segara direformasikan maka akan memperburuk kualitas pendidikan dan akhirnya dapat menyebabkan terbengkalainya pembangunan. Untuk mereformasi pendidikan diperlukan suatu sistem yang kritis konstruktif, terbuka, dan emansipatif. Pendidikan kritis merupakan solusi terbaik dalam memperbaiki pendidikan Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam memperbaiki pendidikan ini antaralain: 2.3.1 Meningkatkan Sarana dan Prasarana Pendidikan Dalam rangka meningkatkan output pendidikan tentunya kita harus menaikan cost (harga), menaikkan harga disini maksudnya adalah meningkatkan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Adapun sarana tersebut meliputi sarana fisik dan non fisik. Pemenuhan sarana fisik sekolahan ini meliputi pembanguan gedung sekolahan, laboratorium, perpustakaan, sarana-sarana olah raga, dan fsilitas pendukung lainnya. Dalam hal ini tentunya pemerintah memegang tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan ini, karena pemerintah berkepentingan dalam memajukan pembangunan nasiaonal. Jika sarana belajar ini telah terpenuhi tentunya akan semakin memudahkan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi. B. . Sarana non fisik Sarana non fisik ini diibaratkan soft ware dalam komputer, jika soft ware ini dapat mengoprasikan perangkat komputer dengan baik maka pekerjaan akan cepat selesai. Begitu juga dalam pendidikan jika sistem dan pengajarnya bermutu maka akan mempercepat pembangunan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: 1. Peningkatan kualitas guru Kualitas guru harus ditekankan demi berjalannya pendidikan itu sendiri, tugas guru adalah merangsang kreativitas dan memberi pengajaran secara fleksibel, artinya berkedudukan seperti siswa yang belajar tidak ada patron client. Peningkatan mutu ini bukan hanya pada intelektual guru saja, melainkan juga mengembangkan psikologis guru itu sendiri misalnya dengan memahami karakteristik siswa, psikologi perkembangan dan sebagainya. Dengan adanya peningkatan ini tentunnya akan berdampak pada membaiknya output pendidikan. Dikarenakan guru dapat menempatkan dirinya sebagaimana mestinya dan bersifat fleksibel. Kenakalan remaja biasanya terjadi justru karena prilaku guru itu sendiri misalnya melakukan hukuman fisik kepada siswa ataupun penekanan psikologis. 2. Pembentukan lembaga studi mandiri Pembentukan lembaga studi mandiri ini berfungsi sebagai wadah pengembangan kpribadian siswa. Jika lembaga studi ini dapat dibentuk tentunnya akan memperbaiki kualitas fakultas maupun menambah pengalaman mahasiswa. 2.3.2 Reformasi Kurikulum Pendidikan Kurikulum merupakan jiwa dari lembaga pendidikan, jika dalam kurikulum terdapat banyak penyimpangan dan kontradiksi-kontradiksi tentunya akan merusak citra pendidikan itu sendiri. Pengembangan kurikulum diharuskan sesuai dengan kultur masyarakat artinya tidak begitu saja menelan mentah-mentah teori pendidikan barat kedalam pendidikan indonesia. Negeri jepang misalnya walaupun mempelajari bahan ajaran Barat namun mereka menyesuaikan dengan kultur dalam masyarakat. Dalam kurikulum ini harusnya mengutamakan keadilan dan kesetaraan, tidak ada pengelompokan berdasarkan suku, agama, maupun golongan-golongan. Pendidikan merupakan hak dasar bagi masyarakat sebgaimana diamanatkan oleh UUD 1945, jadi dalam masalah biaya tentunya negara mempunyai kewajiban dalam pendanaan pendidikan. Anggaran Perencanaan Belanja Negara 20 untuk pendidikan harus diawasi dan direalisasikan perwujudannya sehingga bukan hanya menjadi wacana politik saja. 2.3.3 Mewujudkan pendidikan inklusif dan anti diskriminasi Pendidikan yang saat ini masih terlibat dengan berbagai diskriminasi dan ekskluisasi terhadap pelajar. Sehingga kadangkala masyarakat memandang bahwa pendidikan hanyalah sebagai alat untuk mobilitas sosial dan mempertahankan satatus quo orang-orang kaya. Anak-anak pemilik modal lebih mendapatkan keistimewaan fasilitas dari pada masyarakat miskin sehingga timbul pesimisme terhadap netralitas pendidikan. Pendidikan inklusif didiasarkan pada beberapa prinsip dasar antara lain: 1. Setiap orang secara inheren punya hak terhadap pendidikan atas dasar kesamaan kesempatan sebagaimana yang diamanatkan UU, jadi tidakada alasan sekolah untuk menolak pelajar yang miskin. 2. Tidak boleh ada siswa yang tereksklusi dan terdiskriminasi dalam pendidikan dengan berbagai alasan apapun, baik dari ras, warna kulit, gender, bahasa, agama, politik, difabelitas, dan lain sebagainya. 3. Semua anak pada dasarnya dapat belajar dan mendapat manfaat dari pendidikan, sehingga pendidikan bertugas mengembangkan potensi otak anak. 4. Sarana dan prasarana disediakan pemerintah dari pajak. 5. Pandangan dan opini peserta didik harus didengarkan dan diperhatikan (demokrasi pendidikan). 6. Perbadaan individu merupakan suatu anugrah, sehingga guru harus mencari pendekatan karakteristik dan kompetensi peserta didik. 7. Pendidikan bukanlah asimilasi tetapi apresiasi perbedaan, adupun pelaksanaannya dilakukan secara kontinyu bukannya instan. Pendidikan juga harus lebih mengutamakan langkah praksis dengan mencetak generasi muda yang mandiri dan dapat mengolah sumberdaya alam serta memproduksi lapangan kerja bukan hanya mencetak mental pekerja. Kesadaran sosial generasi muda juga perlu ditingkatkan sebagai wujud pengabdian pendidikan terhadap masyarakat. Mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia bukanlah mimpi, jika dilakukan secara kontinyu dan intensif. Tejadinya menyimpangan kepribadian pelajar dari norma-norma masyarakat bukanlah murni disebabkan oleh kesalahan pelajar atau siswa, melainkan penyimpangan ini muncul dari permasalah multidimensional dalam diri pendidikan itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan penyimpangan dalam diri pelajar ataupun generasi muda, hanyalah sebagian dampak kecil dari berbagai masalah dalam dunia pendidikan dan bukanlah pokok penyebab atau persoalan. Sehingga dalam menganalisis pendididkan diperlukan kesatuan global dari sistem-sistem dalam masyarakat. Masalah pendidikan di Indonesia bukan saja karena kualitas intelektualitas yang masih rendah, tetapi juga diperparah dengan degradasi moral generasi muda yang masih belum bisa menyaring perkembangan globalisasi. Tawuran antar pelajar, free sex . narkoba, dan tindakan asusila maupun pelanggaran hukum banyak mewarnai pendidikan Indonesia, bahkan hal ini dapat kita saksikan baik secara langsung maupun dimedia massa. Namun semua itu bukanlah alasan bagi kita untuk cenderung menyalahkan pendidikan, karena kita sendiri memiliki tanggung jawab yang besar dalam proses pendidikan. Dalam memperbaiki masalah pendidikan itu dapat dilakukan dengan cara mereformasi kurikulum yang lebih merakyat, menyediakan sarana, prasarana, menjalankan pendidikan anti diskriminasi, dan sebaginya. Selain itu pendidikan juga diharapkan melaksanakan tugasnya yaitu, memperjuangkan masayarakat dari penindasan dengan menanamkan sikap sadar sosial dan membangun mentalitas kemandirian anak didik.

No comments:

Post a Comment